Rabu, 10 Oktober 2012

SEKELUMIT SEJARAH BUDAYA WAJO

  •  

    WAJO 

    Dalam prospektif sejarah, Kabupaten Wajo Sulsel menyimpan kenangan sejarah yang cukup unik. Salah satu kemajuan dalam bentuk pemerintahannya tempo doeloe adalah Republik aristokrasi di abad ke XVI dengan memproklamasikan kemerdekaan bersemboyan: “Maradeka To Wajoe, najajiang alena maradeka, de assimaturusennami na popuang. Artinya : orang wajo merdeka sejak dilahirkan, hanya mereka abadi, sipemilik negeri (rakyat) semuanya merdeka, hanya hukum yang disetujui bersama yang mereka tertuan”.

    Kabupaten Wajo, di Provinsi Sulawesi Selatan, memiliki iklim tropis. Suhu udara bervariasi antara 29 hingga 30 derajat Celcius. Di musim kemarau antara Juli hingga Oktober. Sedang di musim hujan, April hingga Juli. Musim bersuhu lembab mulai Nopember hingga Maret. Curah hujan rata-rata 3000 mm dengan 120 hari hujan. Kesuburan lahan pertanian dapat dikemas dalam paket wisata agro, terletak di ketinggian antara 0 hingga 500 meter dari permukaan laut.

    Wajo dikenal sebagai penghasil kain sutra Sengkang. Wisatawan tinggal pilih jenis produksi alat tenun Bukan mesin (ATBM) dan gendongan yang beragam antara lain : sarung, baju, blus, dasi, atau cendera mata berupa tas pesta, kipas dan sepatu. Di desa Gilireng Kec. Maniangpajo, terdapat tambang Gas alam yang memiliki deposit yang cukup besar sekitar 563.0 BSCF dan 100 MESCDF gas delivery. Potensi gas alam tersebut telah dieksploitasi buat keperluan energi listrik sejak tahun 1999 yang mesin pembangkitnya (PLTU) dibangun di Patila Kecamatn Pammana.

    Sementara Danau tempe dikenal sebagai penghasil ikan tawar, juga telah menjadi kawasan wisata. Danau tempe terbentang laksana cermin raksasa di sisi barat ibu kota Kab. Wajo yaitu sengkang.

    Danau ini memiliki pesona alam yang elok dan unik. Perkampungan nelayan primitip bernuansa Bugis berbanjar sepanjang tepian danau. Rutimitar keseharian dan aktifitas masyarakat nelayan penangkap ikan yang berlatar belakang rumah-rumah terapung memiliki ciri khas kehidupan dipermukaan danau.

    Dikala senja apalagi disaat bulan purnama cukup mengasikkan. Satwa burung beraneka ragam yang bisa dikomsumsi sebagai pangan ikan. Setiap mata memandang, sekeliling Danau Tempe terdapat satwa burung, binatang reptil seperti biawak bersisik (Salipui Inzar) kelihatan disana. Selainnya, kadang ada buaya muncul. Bunga-bunga beragam jenis, rumput air serta aktifitas pertanian/perlandangan rakyat pinggiran danau merupakan pemandangan elok dan menarik sekali.

    Setiap tahun masyarakat nelayan menggelar pesta “Maccera Teppareng” sebagai pernyataan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil yang telah diperoleh dari Danau tempe. Pesta ritual nelayan ditepi danau itu telah dimasukkan kedalam “of even parawisata Sulsel” digelarkan samaan dengan pelaksanaan vestifal Danau tempe setiap Agustus tambah menarik disertai berbagai atraksi seni dan budaya masyarakat Wajo.

    Ada carnaval perahu hias bugis, lomba perahu antar nelayan danau dan pertunjukan berbagai permainan tradisional rakyat seperti mappitupitu (Layang-layang bermusik). Berjarak dua kilometer arah timur kota Sengkang, dekat danau lampulung,

    Pemda Wajo telah membangun kawasan budaya berlokasi seluas 4 HA di kampung Atakka’e. Disitu terdapat bangunan duplikat rumah ada. Salah satu diantaranya yang terbesar dari bangunan duplikat lainnya, adalah Seoraja (Istana Raja) La Tenribali salah seorang raja (arung matoa wajo), ukuran bangunan 18 m x 54,4 m memiliki tiang berjumlah 101 buah terbuat dari kayu Ulim berdiameter hingga 50 cm.

    Tinggi hubungan mencapai 15 m. Rumah-rumah adat di atakka’e itu menghadap ke danau lampulung, dipersewakan sebagai tempat peristirahatan bagi umum (pengunjung) dilengkapi fasilitas penginapan modern seperti, kamar ber AC. Pelayanan disuguhkan dalam budaya tradisional masyarakat bugis baik aktraksi kesenian, maupun menu makanan.

    Sekitar 12 Km bagian timur Kota Sengkang terdapat pula danau Tosora. Tempo doeloe (era kerajaan), Tosora berfungsi sebagai ibu kota kerajaan Wajo dikelilingi delapan danau kecil. luas Tosara 1,428 Ha. Desa ini tampak anggung. Terdapat banyak peninggalan sejarah purbakala. Sebuah benteng kuno dibangun oleh La Madduk Kelleng sebagai pusat pertahanan nasional tersohor di zamannya membentuk armada laut.

    La Madduk Kelleng pernah menjadi raja Pasir di Kaltim. Kompleks makamnya tahun 19658-1754 terletak di Kota Sengkang – dimana terdapat pula makam Sultan Pasir (mertua Maddukkelleng), yang tewas dalam peperangan melawan Belanda. Makam yang unik lainnya berbentuk pamor keris La Maddukelleng melawan Belanda sampai ke Sumatra dan Kalimantan Timur.

    Beliau pengikut Raja Pasir membangun kota Samarinda. Atas itula beliau ditetapkan oleh pemerintah RI sebagai Pahlawan Nasional.

    Di Tosora terdapat makam raja-raja yang berkuasa dimasa jayanya memimpin wajo seperti : Makam La Tadampare Puangri Maggalatung, La Tenri Lai’to Sengngeng, La Mangkace to udamang.

    Makamnya uni ada seperti Sirip Ikan, ada makam tiga bintang enam terbuat dari batu sadiman sebagai pengaruh kebudayaan di Wajo sebelum Islam. Setelah islam masuk di Wajo, terdapat makam bernisan meriam kuno puing bekas Gedong (gudang amunisi/mesiau) kerajaan Wajo-sebuah mesjid kuno dibangun tahun 1621 ada sumur (bung) Perawi tempat prajurit-prajurit kerajaan Wajo dimandikan sebelum terjun kemedan perang.

    Di seputar kota Sengkang terdapat sejumlah Goa (terowongan) bekas tempat perlindungan/pertahanan serdadu Jepang dimasa perang dunia II berkecamuk. Tempat iut amat menarik untuk wisata petualangan (adventure) dan masih banyak lagi lainnya yang belum sempat diberitakan di sini

Tidak ada komentar: